Selasa, 07 Februari 2012

Cerita Pendek Selamat Jalan…


Rintikan hujan masih menemani kesendirianku mengiringi kepergianmu sore ini. Angin dingin yang bertiup seakan menusuk hingga ke tulang. Air mata bak hujan deras tak mampu kubendung lagi. Tubuhku kaku saat kutatap lagi nisan di atas pusaramu itu, David Nugraha 3 September 1989 † wafat 7 Maret 2010.
Serpihan hatiku yang remuk ini tak sanggup kususun lagi. Pecahan perasaan kehilangan ini tak lagi dapat kurapikan. Aku tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi padaku, menjadi bagian dari lembaran cerita hidupku. Entah apa yang akan dapat aku lakukan tanpa kehadiranmu disisiku. Kau yang pernah mengisi relung batinku yang hampa, yang menyadarkan aku akan arti hidup yang sebenarnya kini hanya menjadi angan belaka.
Air mata ini tak cukup melukiskan perasaanku saat ini. Masih terngiang di telingaku kata-kata manis darimu yang pernah membangkitkan semangatku untuk terus maju. Aku sadar, dorongan dan semangatmu kala itu yang membuatku mampu bertahan hingga saat ini. Namun apa gunanya bagiku?
Masih terbayang dalam benakku kecelakaan kemarin yang membuatku benar-benar tak paham, untuk apa kita hidup. Canda tawa masih menghiasi perjalanan kita saat itu diatas sepeda motor bernomor B 1771 I itu. Namun naas tak bisa kuelakkan. Ternyata kematian lebih kuat dari cinta kita. Tabrakan maut di Jalan Brahwijo itu telah merenggutmu pergi menyisakan luka dalam batinku, serta sesal yang mengisi sela-sela hatiku. Kalau saja aku tidak mengajakmu ke taman waktu itu…. Akh, aku benar-benar tak bisa memaafkan diriku sekarang. David, aku masih tak ingin kau pergi.Semua impian yang pernah kurajut dengan benang-benang semangat darimu hancur sudah.
“David, kemarin kau pernah berjanji untuk menemaniku di olimpiade Atletik besok…” gumamku mengenang janji yang pernah diucapkan David dengan tawa waktu itu. Air mata masih terus membasahi pipiku. Apalagi ketika kuingat sekarang aku kehilangan sebuah kaki yang membuatku tak dapat berlari lagi.
“David, aku benar- benar hampa sekarang. Ingin kupinta Tuhan ulangi waktu yang telah berlalu. Tapi aku hanya manusia biasa yang hidup pada limit kehidupan yang fana ini. David, kalau kau dengar seruanku, aku ingin kau mengetahui hal ini, lebih dari semua rasa kehilanganku akan kaki yang kugunakan untuk berlari atau hati yang telah remuk ini, sekarang aku lebih merasakan kehilangan dirimu, David.” Kataku tersendat diselingi permata bening yang terus mengalir dari mataku.
Angin sepoi masih bertiup. Aku memejamkan mata. Hanya kilasan cahaya redup matahari yang tampak dipelupuk mataku. Aku menarik napas panjang.
“David tak ingin aku seperti ini.” Pikirku. Segera kuusap air mata, meninggalkan bekas dipipiku.
“David, mungkin hatiku masih membeku kala kukatakan hal ini, tapi dengarlah David, aku akan maju, melakukan semuanya untukmu. Selamat jalan, David…. Harapanku, jangan pernah lupakan aku. Sampai tiba waktunya nanti, semangat yang kau berikan padaku waktu itu tak akan direnggut oleh siapapun. Selamat jalan, David….”
Masih ada senyum perih menghiasi bibirku ketika aku bangun hendak beranjak pergi dari tempat peristirahatan terakhir David sekarang. Hanya nisan dan tumpukan tanah penuh bunga yang menjadi saksi bisu tangisan kehilangan kekasih terbaik yang pernah kumiliki dalam hidup. Segera kuraih tongkat yang sedari tadi berada di sampingku. Aku berbalik, menunduk dan beranjak pergi….
Cinta akan memiliki arti kalau kita betul- betul memahami dan cinta akan lebih berarti lagi saat kita sadar ia telah pergi….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar